Bismillahirrahmaanirrahiim
Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR
ath-Thabrani dan al-Baihaqi)
Perempuan lanjut dan berbadan
bongkok itu biasa disapa Mak Deni. Ia bersama suaminya yang tak kalah
lanjut usianya berdagang sayuran di pasar. Sebuah meja yang tak begitu
luas digunakan untuk menggelar berbagai jenis sayuran dan bumbu sebagai
barang daganganya. Ia dan suaminya mangkal di depan sebuah toko perabot.
‘Kios’ Mak Deni selalu ramai pembeli karena harga sayurannya lebih
murah daripada di tempat pedagang lain. Selain itu Mak Deni murah hati
dan ramah karena ia selalu tersenyum meski saya seringkali menyaksikan
ada pembeli yang memanfaatkan kemurahan hatinya dan keramahannya yaitu
dengan menawar harga yang tak wajar atau meminta tambah atas apa yang
dibelinya.
Suatu kali saya pernah menyaksikan seorang pengemis
di ‘kios’ Mak Deni. Tentunya ia sedang mengharapkan belas kasihan Mak
Deni. Pakaiannya lusuh dan kumal, badan kotor penuh debu tebal
menghitam menandakan tidak dibersihkan berhari-hari. Tapi saya
perhatikan dibalik penampilan khas pengemis yang sering kita saksikan di
berbagai sudut kota Jakarta tersebut, pengemis itu berbadan tegap,
tampak masih segar dan tentunya usianya jauh lebih muda daripada Mak
Deni dan suaminya. Saya tidak tau apakah Mak Deni mengisi telapak tangan
yang menadah tersebut dengan sekeping dua keeping atau selembar dua
lembar rupiah karena saya memang tak menyaksikan ‘adegan’ selanjutnya.
Tapi dalam pandangan saya yang singkat atas peristiwa tersebut saya
berpikir dan berprasangka, kok pengemis itu enggak malu ya meminta-minta
pada seorang tua renta macam Mak Deni? Bukankah ia sebenarnya masih
mampu mencari nafkah dengan cara yang lebih terhormat? Saya rasa menjadi
kuli panggul di pasar lebih terhormat daripada menjadi pengemis
mengingat kondisi fisiknya masih kuat. Malas atau…? Ah, semoga saja
persangkaan saya salah. Semoga saja ia menjadi pengemis karena memang
fisiknya tidak memungkinkan untuk bekerja.
Terlepas dari
peristiwa di atas bukankah kita sering menyaksikan orang-orang yang
terhitung masih segar bugar dan sehat wal afiat lebih memilih menjadi
pengemis atau peminta-minta? Alasan yang mereka gunakan kenapa mereka
memilih menjadi pengemis daripada bekerja adalah tidak adanya lapangan
pekerjaan, tidak punya ijazah, dan alasan-alasan lain yang sebenarnya
dibuat-buat. Andai saja mereka tidak berpegang teguh pada pandangan
mereka bahwa bekerja itu harus di kantor, memakai baju licin dan wangi
tentu mereka tak akan memilih menjadi peminta-minta. Dan andai saja
mereka tak mempunyai sifat malas dan mau sedikit melepas rasa malu yang
salah tempat dan gengsi, tentu lebih memilih menjadi kuli panggul,
pedagang asongan, atau pengecer koran. Satu kali mereka terjun menjadi
pengemis akan membuat mereka ketagihan karena penghasilan sebagai
pengemis sungguh fantastis. Tinggal berakting memelas, sedikit
berpanas-panas sambil menadahkan tangan maka rupiah akan mendarat di
telapak tangan. Tanpa kerja keras tapi penghasilan menggiurkan. Siapa
yang tidak tergoda, coba? Tapi sungguh bekerja sebagai pengemis sama juga
menghinakan diri, tidak saja di hadapan manusia tapi di hadapan Allah
kelak. Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara
kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian
dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi
kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang
lain.” (HR Bukhari dan Muslim). Memang ada sebagian pengemis
yang memang pengemis ‘asli’ artinya fisik mereka memang tidak mampu
bekerja lagi entah karena usia yang sangat lanjut ataupun cacat, tak
punya sanak saudara lagi yang menanggung mereka dan memang itulah
satu-satunya pilihan ‘profesi’ yang harus dijalaninya tapi sungguh
sepanjang pengalaman saya mengamati para pengemis jumlah mereka tak
sebanyak pengemis ‘gadungan’.
Di antara banyaknya jiwa-jiwa
pemalas dan mau enaknya saja tersebut masih ada Mak Deni dan suaminya
yang tidak malu harus lesehan di pinggiran pasar dan mau bekerja keras
untuk mencari nafkah halal dan terhormat. Senyum ramah di bibirnya yang
tak lagi merah selalu saya saksikan menghiasi wajahnya yang keriput. Di
sana tergambar jelas aura jiwa yang tak mau menyerah dan pasrah pada
nasib. Dan sungguh dalam pandangan saya Mak Deni dan suaminya jauh lebih
mulia daripada pengemis-pengemis gadungan tersebut.
“Pekerjaan
apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah
usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang
dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar